Quote of The Day

Membaca & menulis adalah kebiasaan, sebuah hasil akhir dari pembiasaan yang terbentuk karena terus menerus mengondisikan diri untuk melakukan dua aktifitas itu. Daripada terbiasa hal lain lebih baik membiasakan diri membaca & menulis.

Pemilik Blog

Muhammad Ali Murtadlo, Salah satu mahasiswa penerima Beasiswa Bidikmisi Tahun 2010, di Jurusan Ahwalus Syakhsiyah (AS), Fakultas Syariah, IAIN Sunan Ampel Surabaya. Lahir di Teleng, Sumberejo, Bojonegoro pada 19 Maret 1993 M. Setelah lulus dari Madrasah Ibtida’iyah Islamiyah (MII) Teleng, melanjutkan pendidikan menengah pertama dan atas selama enam tahun di MAI At-Tanwir, Talun, Bojonegoro. Saat ini sedang giat menulis Artikel, Opini, Esay, Resensi, maupun Puisi. Tulisannya pernah dimuat di beberapa media seperti, Republika, Bali Post, Suara Karya, Sumut Post, Metro Riau, Radar Surabaya, Harian Surya, Duta Masyarakat, Harian Bhirawa, Kabar Indonesia, Rima News, Okezone.com, Lintasgayo, Haluan Kepri,Nu Online, Era Madina dan dimuat di beberapa buletin kampus. Bisa dihubungi di +6285730723885 atau ali_murtadlo22@yahoo.com
Powered by Blogger.
Topics :

Labels

Monday 6 January 2014
Judul Buku : Menyemai Kreator Peradaban: Renungan tentang Pendidikan, Agama, dan Budaya
Penulis : Muhammad Nuh
Penerbit : Zaman
Cetakan : Pertama, 2013
Tebal : 300 halaman
ISBN : 978-602-17919-3-6

Masalah krusial yang dihadapi bangsa ini seperti kemiskinan dan keterbelakangan adalah imbas dari ketidaktahuan. Untuk mengatasi ketidaktahuan tersebut perlu adanya pendidikan. Pendidikan sejatinya adalah proses memanusiakan manusia, maka program pendidikan harus bisa menjawab kebutuhan manusia secara utuh dalam menghadapi kenyataan hidup yang terus berubah.

Melalui buku setebal 300 halaman ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh mengajak kita untuk merefleksikan pentingnya makna pendidikan bagi kehidupan bangsa.
Dengan bernas, lugas, dan kadang jenaka, buku ini menyuguhkan gagasan tentang proses pendidikan Tanah Air sebagai usaha sistematis dengan penuh kasih untuk memperadabkan manusia.
 
Buku ini merupakan himpunan dari percikan gagasan penulisnya yang terserak dari berbagai tulisan di media massa, orasi di berbagai forum, hingga obrolan santai di sela rehat suatu acara. Melalui buku ini Nuh mengajak semua elemen bangsa untuk saling melengkapi dan berdialog untuk ikut serta meletakkan batu bata dalam membangun rumah besar Indonesia yang nyaman dan aman bagi siapa saja.
Menyemai benih-behih bangsa yang mampu berkreasi untuk membangun perdaban Indonesia yang lebih unggul, cerdas dan modern.

Dalam buku ini, Nuh mengatakan bahwa ciri bangsa yang cerdas ada empat (hal. 111). Pertama, berpola fikir terbuka (open mind) dan selalu bereorientasi mencari jawaban, bukan mempersoalkan persoalan. Pola berfikir terbuka ini akan menumbuhkan rasa kesadaran dan kesediaan untuk menerima dan mengadopsi kemajuan serta pengalaman bangsa lain. Kedua, efektif dalam pembiayaan (cost effectivennes). Artinya, biaya yang dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah sangat efektif dan murah. Ketiga, selalu menjaga harkat, martabat, dan patuh terhadap pranata hukum. Dan ciri yang keempat adalah kebiasaannya tepat pada waktu yang dibutuhkan (timely proper).

Untuk menjadi cerdas tentu butuh belajar. Dalam proses belajar kita harus mengenal konsep trilogi pembelajaran yang disingkat dengan 3T, yakni tilawah (mengikuti), tazkiyah (pensucian diri) dan taklim (pengajaran). Dengan tilawah, kita akan memiliki keterampilan mempersepsi, berkarya, dan berkomunikasi. Dengan tazkiyah kita menyucikan jiwa dari karakter negatif, menumbuhkan karakter (sikap) positif, baik sikap spiritual maupun sikap sosial. Dan dengan ta’lim ada proses belajar mengajar tentang apa yang terkandung dalam sebuah kitab, hikmah dan apa saja yang belum kita ketahui. (hal. 128)

Namun, selama ini dunia pendidikan kita masih terkonsentrasi pada aspek ta’lim. Ada guru dan murid. Materi yang diajarkan masih dominan mengenai hal-hal tekstual. Ihwal hubungan guru dan murid sangat jarang ditekankan. Ikatan emosional antara guru dan murid masih sangat lemah. Hikmah jarang disentuh. Ibarat membangun rumah, baru ruang tamu dan kamar tidur. Kamar mandi, dapur, dan mushola masih belum disentuh. Untuk itu, pembelajaran yang efektif adalah yang menerapkan tiga instrumen secara bersamaan; inderawi, rasio, dan hati nurani.

Buku ini tidak hanya berbicara tentang pendidikan, namun juga memperbincangkan seputar agama dan budaya. Selain itu, terdapat cerita-cerita penuh makna yang dapat mengantarkan kita untuk membaca makna hidup dibalik hikmah yang ada. Gagasan dan renungan mengenai pendidikan, agama, dan budaya dalam buku ini agaknya patut menjadi bahan perenungan bersama. Selamat membaca.
 
Peresensi : Muhammad Ali Murtadlo (Pustakawan Mahasiswa di UIN Sunan Ampel Surabaya)

dimuat di eramadina.com (http://eramadina.com/renungan-mendikbud/)
Saturday 28 December 2013
Judul : Tes Buta Warna untuk Segala Tujuan
Penulis : Dwi Sunar Prasetyo
Penerbit : Saufa (Diva Press)
Tebal : 68 Hlm
Cetakan : Pertama, Oktober 2013
ISBN : 978-602-279-073-0

Anda pernah gagal masuk universitas idaman hanya karena tidak lulus tes buta warna? Atau tidak diterima kerja hanya gara-gara salah menyebut warna? Sekarang jangan khawatir, bersama buku ini Anda dapat berlatih secara intensif dan memahami seluk-beluk tes buta warna. Sehingga, Anda akan semakin siap dan tidak akan canggung lagi saat menghadapi tes yang sesungguhnya.
Tes buta warna merupakan salah satu tes khusus yang harus dilalui oleh seseorang yang ingin bekerja di departemen atau perusahaan tertentu, atau tes bagi calon mahasiswa yang akan melanjutkan studinya ke jurusan tertentu. Bahkan, beberapa jenis pekerjaan dan universitas mewajibkan pelamar dan calon mahasiswanya untuk dapat lolos dalam tes yang satu ini. Tak heran, banyak orang yang gagal meraih impiannya hanya karena tak mampu menyelesaikan tes buta warna dengan baik.
Buta warna atau dikenal dengan istilah defisiensi warna adalah ketidakmampuan untuk melihat warna atau melihat perbedaan warna dalam kondisi pencahayaan normal. Penyebab paling umum dalam hal ini adalah kesalahan dalam pengembangan satu atau lebih set kerucut retina yang berfungsi menyerap cahaya warna dan mengirimkan informasi tersebut ke saraf optik. Ada dua jenis buta warna, yaitu mereka yang kesulitan membedakan antara merah dan hijau (protanopia) dan yang memiliki kesulitan membedakan antara biru dan kuning (tritanopia). (hal. 16)
Buta warna akan berimplikasi pada pekerjaan seseorang. Orang yang buta warna secara sah atau praktis dilarang bekerja di mana persepsi warna adalah bagian terpenting dari sebuah pekerjaan (misalnya pencampuran warna cat), atau di mana persepsi warna sangat penting untuk keselamatan (misalnya kendaraan yang beroperasi dalam menanggapi kode sinyal warna). Selain itu orang yang buta warna akan sulit mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM). Karena pengemudi kendaraan bermotor harus mampu mengenali sinyal kode warna, seperti lampu lalu lintas, lampu peringatan dan rambu-rambu lalu lintas lainnya. (hal. 18)
Dalam buku setebal 68 halaman ini disajikan pula 24 plat (piringan) yang diadaptasi dari tes Colour-Blindnees Ishihara, tes yang kerap dijadikan standar tes buta warna. Masing-masing plat berisikan pola-pola tertentu yang tersembunyi. Disajikan dalam format full colour sehingga memudahkan pembaca memahaminya.
Penulis buku ini, Dwi Sunar Prasetyono adalah Alumnus Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Dia telah banyak menulis buku-buku tentang tutorial psikotes untuk berbagai tujuan, dari masalah anak-anak hingga departemen pemerintahan, sehingga tidak diragukan kapasitasnya.
Mempelajari buku ini semata-mata bukan hanya untuk mengetahui apakah kita buta warna atau tidak. Akan tetapi ada sisi positif yang lain. Kita akan tahu penyebab bisa terjadinya buta warna dan solusi untuk mengatasinya. Sehingga kita bisa berhati-hati dan lebih menjaga kesehatan mata. Selamat membaca.
Peresensi : Muhammad Ali Murtadlo, Pecinta Buku, Tinggal di Surabaya
Friday 13 December 2013


Judul Buku      : Mr. Ambassador; Dari Wartawan Foto Menjadi Duta Besar
Penulis             : M. Indro Yudono
Penerbit           : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : Pertama, Agustus 2013
Tebal               : xxii + 260 Hlm
ISBN               : 978-979-22-9803-1
Peresensi         : Muhammad Ali Murtadlo*)


Menjadi diplomat adalah profesi yang diincar banyak orang. Karena selain bekerja, ia dapat menikmati hidup di negeri orang lain. Namun, menjadi diplomat tidaklah mudah. Seorang diplomat dituntut harus mempunyai kemampuan yang memadai. Unsur kemampuan pribadi menjadi penting bagi keberhasilan seorang diplomat. Penguasaan bahasa asing dan kemampuan bergaul serta mengemukakan argumentasi yang meyakinkan bagi lawan bicara menjadi syarat wajib bagi diplomat. Selain itu, seorang diplomat harus dapat berkomunikasi dengan baik, karena esensi penting dari seorang diplomat adalah mempengaruhi atau memikat negara lain agar mau berunding dan melakukan kerja sama.
Berbicara tentang diplomasi, penting kiranya belajar dari orang yang sudah berpengalaman menjadi diplomat. Buku “Mr. Ambassador; Dari Wartawan Foto Menjadi Duta Besar” ini hadir untuk menambah cakrawala baru bagi diplomat muda. Buku ini ditulis oleh M. Indro Yudoyono, seorang mantan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang pernah bertugas di KBRI Swiss. Dikemas dengan bahasa kisah yang ringan dan penuh pengetahuan baru tentang dunia diplomasi. Buku ini berisi mengenai berbagai hal yang dialami sendiri oleh penulisnya.
Kisahnya berawal dari “Hitch Hiking” (melakukan perjalanan dengan menumpang/tidak bayar) semasa dia masih duduk di bangku SMA 6 C Yogya untuk melihat Bali melalui jalur darat. Perjalanan melalui cara yang tidak wajar itu mulai dilakukan ketika Indro mengirim surat kepada bapaknya yang intinya meminta ongkos perjalanan Yogya-Bandung. Tapi dijawab oleh bapaknya, “Kalau mau ke Bandung ya usaha sendiri, kalau cuma minta uang semua orang bisa”. (Hal. 1) Semenjak itulah Indro belajar mandiri dan tidak menggantungkan orang tua.
Kemudian berlanjut mengisahkan peristiwa G 30 S, petualangan menjelajah Indonesia sebagai Wartawan foto IPPHOS (Indonesia Press Photo Service), melihat Papua tahun 1966 sampai ke Pulau Marore, Pulau terluar Indonesia. Perjalanan itulah yang mendasari Indro untuk menjadi seorang diplomat.
Ketika menjadi Duta Besar di Swiss Indro mendapat pujian dari Jaya Suprana. Pianis Internasional yang sukses mengadakan resital tunggal di Swiss itu mendapat piagam penghargaan atas rekor resital piano tunggal yang paling banyak di hadiri oleh duta besar yang bertugas di Ibu Kota Swiss. Penghargaan itu tidak bisa lepas dari peran Indro sebagai Dubes Indonesia di Swiss. Pasalnya, para dubes dari negara lain begitu menghargai dan menghormati Dubes Indonesia yang terbukti sangat popular di kalangan para dubes dari segenap pelosok dunia yang bertugas di Bern, Swiss. (hal. xv)  
Selain itu, Indro menjadi salah satu orang beruntung yang bisa bertemu secara langsung dengan keenam Presiden Republik Indonesia. Dengan Soekarno, Soeharto, B.J Habibie, Gus Dur, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono dia pernah berjabat tangan. Pengalamannya itu kemudian dikisahkan apik dalam “Bertemu Dengan Semua Presiden RI, dari Presiden Pertama sampai Presiden Keenam”. (hal. 228)
Ada beberapa kisah lain yang mengisahkan pengalaman Indro. Seperti, “Event Organizer Sekretariat Nasional ASEAN, At the End… Mr. Ambassador!, Courtesy Call, Lain Indonesia, Lain Swiss, Petualangan-Petualangan Indonesia di Luar Negeri, dan Harta Soeharto di Swiss”. Judul yang terakhir mengisahkan kemungkinan adanya harta Pak Harto yang disimpan di Bank Swiss. Bank yang dikenal dunia sebagai bank yang piawai menyimpan rahasia. (Hal. 251)
 Melalui 23 kisah-kisah inspiratif ini Indro membawa kita ke dalam kisah petualangan hidup dan karier yang unik nan mengagumkan. Pria kelahiran Ponorogo, Jawa Timur pada tanggal 18 Maret 1942 itu telah berkarya di beberapa tempat di luar negri. Diantaranya di KBRI Canberra pada tahun 1978-1982, Konsulat Jenderal RI (KJRI) Chicago tahun 1985-1989, KJRI Hamburg tahun 1991-1994 lalu tahun sesudahnya, yaitu tahun 1995-1998 diangkat langsung sebagai wakil dubes pada KBRI Bonn-Jerman Barat. Puncak kariernya adalah sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh di Bern-Swiss, membawahi Kepangeranan Liechtenstein pada tahun 2001-2005.
Dia tidak hanya berhasil melakukan tugasnya dengan professional, tetapi juga mencerminkan watak, karakter dan pribadi seorang diplomat yang berfikir matang sebelum bertindak. Selamat membaca!

*) Pustakawan di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

#dimuat di Radar Surabaya, (Minggu, 08 Desember 2013)